Mencari Puncak Baru Aktivisme Mahasiswa Pemuda


 

Bulan Mei, oleh sebagian orang selalu dijadikan bulan romantisme perjuangan 1998. Berbagai cerita dan selebrasi kenangan terus di ulang agar publik teringat tentang apa yang pernah terjadi pada masa itu. Ada campur aduk perasaan perlawanan, pemberontakan, nasionalisme, reformasi, yang berakhir dengan syahdu bahagia karena sang penguasa telah turun tahta. Alhasil, Indonesia baru pun disambut riuh gembira ratusan juta warga Indonesia. Sadar atau tidak, sebagian dari kita, menjadi 1998 sebagai titik awal dari wajah segar Indonesia. Tak terhitung berapa banyak artikel yang dimulai dengan awalan ‘sejak reformasi 1998…’.

Termasuk untuk gerakan atau aktivisme mahasiswa dan pemuda. Buat generasi yang berkuliah di awal 2000an, aksi 1998 adalah sebuah romantisme yang ingin kembali di ulang. Buat mereka, menduduki gedung DPR adalah puncak dari bola salju pergerakan mahasiswa pemuda. Tak tersadar, sejak masa itu, segala bentuk doktrin dalam materi kemahasiswaan menggunakan logika represif, kaum tertindas, berbeda dengan pemerintah, dan fokus pada gerakan politik ekstraparlementer. Ditambah lagi dengan pujian kesombongan peran berlebihan mahasiswa; seperti agen perubahan, penjaga nilai, dan stok potensi masa depan.

Bisa jadi, doktrin tersebut cocok di masa itu, tapi kini, sudah 15 tahun berlalu.

Pertanyaannya, masihkah relevan?

Saya berefleksi belakangan ini, rasanya menjadikan aksi 1998 sebagai puncak aktivisme mahasiswa saat ini tampak sudah tidak tepat. Karena, 1998 adalah puncak dari gerakan ‘melawan’ orde baru. Dan kini, orde baru telah usai dan digantikan dengan sebuah pemerintahan dan sistem demokrasi yang memungkinkan aspirasi disampaikan dengan sangat mudah. Ditambah lagi dengan kekuatan industri media yang telah berperan dalam mendinamisasi demokrasi di Indonesia, tak lupa juga mencatat peran media sosial melalui jejaring dunia maya yang telah memberikan kesempatan bagi setiap individu untuk menyuarakan kegelisahannya.

Sehingga, sudah saatnya, para generasi baru aktivis ini tidak lagi menjadikan 1998 sebagai punggung yang harus selalu di ikuti.  Dan menjadi konsekuensi logis bagi para aktivis mahasiswa dan pemuda untuk mereposisi dan menentukan kembali puncak baru dari aktivisme mereka di masa mendatang. Penting bagi aktivis generasi baru ini untuk tidak terjebak dalam romantisme 1998, karena apabila mereka terus terjebak, maka mereka akan gagal untuk bertransformasi dan beradaptasi terhadap tantangan baru Indonesia.

Reformasi telah melahirkan banyak perubahan tata pemerintahan dan hubungan antara pemerintah dengan publik. Globalisasi telah mengubah cara publik berinteraksi dan berkomunikasi. Demokrasi telah memperkuat setiap individu untuk memiliki kemampuan beraspirasi. Indonesia telah berubah, lantas mengapa aktivisme mahasiswa dan pemuda tidak berubah?

Disinilah titik kritis yang perlu di sadari bersama, apabila mahasiswa dan pemuda tidak berubah, maka ia akan tergerus dan hilang perannya. Peran mereka bisa tergantikan oleh kelompok perkumpulan masyarakat yang bergerak berbasis kepentingan atau kedekatan geografis. Atau tergantikan dengan pola aktivisme non-struktural seperti komunitas yang cenderung egaliter dan terbuka terhadap perubahan.

Saya percaya bahwa selalu ada kelompok baru yang menggantikan kelompok lama, bila kelompok lama gagal menguasai perubahan dan memetakan dinamika masa depan. Kini, kita saksikan bersama bahwa banyak organisasi aktivisme mahasiswa dan pemuda yang lembam; mereka sudah tidak memiliki taji akan dinamika bangsa. Jas Almamater hanya digunakan untuk menjadi tamu penghias acara televisi, intelektualitas hanya digunakan untuk mengejar kredit akademik, daya nalar dan kritis tergerus oleh logika hidup nyaman dan anti sosial, para pemimpin aktivisme berubah menjadi elit yang rakus kuasa tak ubahnya seorang otoriter, dan para anggota memimpikan menduduki gedung DPR adalah simbol kemenangan, padahal kini gedung itu bisa dimasuki dengan bermodalkan gagasan.

Saya khawatir, bila penyakit disorientasi visi ini tak segera di tuntaskan, para pelaku aktivisme mahasiswa dan pemuda akan terjebak pada aktivitas rutin tanpa arah dan berujung pada sempitnya cara pandang mereka hanya sebatas isu internal organisasi saja. Mereka gagal mendefinisikan tantangan bersama, sehingga menjadikan masalah kecil dalam organisasi sebagai masalah terbesar yang perlu dihadapi. Sedih, bila aktivisme hanya membuahkan pemikiran kerdil tak bernyawa.

Lalu, puncak seperti apa yang perlu di capai?

Setiap perubahan besar selalu di awali dengan konflik. Dan selepas konflik, diharapkan terjadi upaya rekonsiliasi internal. Dalam konteks Indonesia, internal ini merujuk pada pelaku di pemerintah, pasar, dan masyarakat. Sehingga, selama belum terjadi kekacauan berlebihan. Sudah sewajarnya, para mahasiswa dan pemuda melalukan aktualisasi aktivisme yang bersifat konstruktif dan mendorong pembangunan.

Saya pun, masih menduga dan mereka bagaimana bentuk puncak aktivisme mahasiswa dan pemuda. Tapi saya memperkirakan akan memiliki 3 unsur perekat.

(1)     Perubahan lokal; sebagai imbas dari kebijakan desentralisasi; tantangan pembangunan bisa melebar hingga tingkat provinsi, kabupaten/kota, hingga desa. Aktivisme mahasiswa dan pemuda ditantang untuk bisa ambil bagian dalam perbaikan unit pembangunan terkecil di negeri ini.

(2)     Menyambut dinamika global, perdagangan dan dinamika geopolitik dunia menuntut mahasiswa dan pemuda tidak hanya bertapa di dalam negeri, melainkan juga memiliki wawasan dunia dan siap untuk berdiaspora mengisi ruang konsolidasi peradaban di luar negeri.

(3)     Pribadi inspirasional, krisis keteladanan bisa jadi salah satu problematika akut di negeri ini. Sehingga, mahasiswa dan pemuda di harapkan mampu menjadi pribadi inspiratif yang memberikan harapan baru bagi warga negeri ini. Bahwa memang menjadi ‘iron stock’ itu tidak cukup hanya dengan koar berbusa dengan toa, tetapi juga perlu dengan

Puncak yang di daki bisa jadi memang masih banyak kemungkinannya, tetapi yang saya pahami adalah mahasiswa dan pelajar perlu mengubah cara berpikir, perilaku organisasi, dan juga metode pengemasan aktivitas. Indonesia hari ini, sudah beda dengan Indonesia 15 tahun silam. Kita telah hidup pada zaman yang menuntut diri ini mampu beradaptasi terhadap lingkungan yang dinamis. Bila Indonesia mampu mereformasi politik dan tata pemerintahannya. Mengapa mahasiswa dan pemuda tidak bisa merevolusi pemikiran dan struktur kerjanya?

Leave a comment